Dapatkah Gempa Bumi di Prediksi ?
Berita Iptek - Pertanyaan yang sering saya dapatkan pada saat survei di lapangan yaitu "dapatkah anda memprediksi gempabumi ?" Saya biasanya menjawab pertanyaan antusias tersebut dengan, "ya bisa". Saya jabarkan lebih detail lagi "dalam bulan ini mungkin ada gempa magnitud 5 di pulau Jawa" atau "dalam 100 tahun ke depan mungkin ada gempa magnitud 8 di pantai barat Sumatra". Jawaban tersebut saya berikan karena saya mengetahui secara statistik di pulau jawa terdapat 2-4 gempa magnitud 5 setiap bulannya. Dan di Sumatra hampir setiap 100 tahun terdapat gempa magnitud diatas 8 pada segmen yang berlainan. Tetapi seandainya pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan "kapan tepatnya gempa dengan magnitud 8 tersebut akan terjadi ?" maka jawaban saya sederhana saja "saya tidak tahu". Sangat ironi bahwa suatu hal yang paling diharapkan dari peneliti gempabumi, yaitu memprediksi kapan terjadi gempa bumi, merupakan hal yang paling tidak dapat mereka lakukan. Dikarenakan para peneliti yang memiliki otoritas dalam riset gempabumi tidak dapat memberikan informasi pasti kapan terjadinya gempabumi. Menyebabkan banyak orang yang berusaha melakukan prediksi gempa bumi sendiri. Mereka yang tidak memiliki dasar ilmu kebumian memadai, dan hanya berbekal pencarian informasi melalui situs internet, menyebarkan berita-berita kemungkinan terjadinya gempabumi pada masyarakat luas. Yang terjadi kemudian adalah kepanikan-kepanikan di masyarakat. Yang terbaru adalah isu akan terjadinya gempa pada tanggal 25 Juli 2006 yang disebarkan melalui SMS di Jakarta.
Jalan panjang riset prediksi gempabumi Pada awal tahun 1970, usaha untuk memprediksi gempabumi berkembang dengan pesat di Jepang, Rusia, Cina dan Amerika. Target utama dari penelitian prediksi gempabumi yaitu untuk menentukan dengan teliti, kapan, dimana dan seberapa besar gempabumi akan terjadi. Para peneliti berharap untuk memberikan informasi ramalan terjadi gempabumi seperti meramal kondisi cuaca. Jepang telah memulai penelitian prediksi gempabumi sejak tahun 1892, satu tahun sesudah gempabumi Nobi menghancurkan Jepang Tengah. Saat itu dibentuk oleh kerajaan sebuah komite investigasi gempabumi yang bertugasmengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan prediksi gempabumi seperti: kenaikan suhu dibawah tanah, kemiringan tanah, variasi kemagnetan, perilaku binatang dan sebagainya.
Program yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan menghabiskan dana lebih dari 1.4 milyar dolar Amerika pada tahun 1999, berakhir dengan kekecewaan karena tidak ada satupun gempabumi yang berhasil diprediksi di Jepang pada rentang tersebut. Terutama sesudah gempabumi besar Kobe yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa, serta menghancurkan wilayah Hanshin dan Awaji. Para peneliti gempabumi mendapatkan kritikan yang tajam atas ketidakmampuan mereka dalam memberikan peringatan dini. Bahkan 112 tahun sesudah program prediksi gempa dicanangkan di Jepang, dengan lebih dari 1200 alat GPS (Global Positioning System) serta ribuan sensor seismik, para peneliti Jepang tetap gagal untuk menemukan secuil bukti yang bisa dijadikan dasar untuk memprediksi gempa di daerah Tokachi-Hokkaido magnitud 8 pada 26 Desember 2003. Mengapa gempabumi sulit untuk diprediksi? Bumi yang kita tinggali ini terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan yang paling dalam yaitu bagian inti yang sangat padat. Kemudian lapisan inti dilapisi oleh mantel yg lebih ringan, dan bagian luarnya dilapisi lagi oleh lapisan kerak bumi yang kaku. Sedangkan mantel walaupun keras tapi tidak kaku dan masih bisa dibengkokan bersifat visco-elastis. Karena panas mantel bergerak bersirkulasi dan membentuk arus konveksi. Pelan tapi pasti, mantel panas ini menggerakan juga
lapisan diatasnya. Yaitu lapisan kerak atau lempeng dengan jumlah lusinan yang membentuk muka luar dari bumi kita. Skala waktu dari proses arus konveksi di dalam mantel yaitu 100 juta tahun (10 pangkat 8). Padahal instrumentasi seismik baru dimulai sekitar 150 tahun lalu, dan lebih intensifnya kira-kira 30 tahun lalu. Sehingga kekurangan data untuk menjelaskan seluruh proses dalam siklus gempabumi yaitu dalam orde jutaan tahun. Pengetahuan manusia mengenai gempabumi baru seujung kuku saja. Sebagai perbandingan dalam ramalan cuaca, apabila kita mempunyai 150 tahun data pengamatan taifun, maka paling tidak kita akan punya informasi 150 siklus dari taifun. Sehingga memungkinkan kita untuk memprediksi kedatangan taifun pada tahun mendatang. Berbeda dengan gempabumi yang siklusnya hanya didapatkan dari satu atau dua kejadian saja. Para ilmuman gempabumi di seluruh dunia, masih berdebat apakah waktu, tempat dan magnitud gempabumi dapat diprediski dengan teliti. Beberapa topik perdebatan misalnya elektronik signal (EM) sebelum gempa, konsep dari selforganized critically (SOC), awan yang muncul saat gempa, evaluasi statistik dan lain sebagainya. Keberhasilan Cina pada tahun 1975 yang mengevakuasi 120 ribu warganya dua hari sebelum gempabumi dengan magnitud 7.3 menghantam Haicheng, dianggap sebagai kebetulan saja. Karena gempabumi di Haicheng diawali oleh gempa-gempa kecil. Padahal jarang sekali gempabumi besar diawali oleh gempa kecil (foreshock). Satu tahun kemudian gempabumi dengan magnitud 7.8 mengakibatkan 250 ribu korban jiwa di kota Tangshan, tanpa diawali gempa kecil dan fenomena awal lainnya. Dan sesudah itu tidak pernah ada evakuasi warga di belahan dunia manapun beberapa saat sebelum
gempabumi Apakah riset gempabumi hanya jalan di tempat? Penelitian gempabumi dalam beberapa tahun belakangan ini telah menghasilkan penemuan yang signifikan. Mekanisme dan proses terjadinya gempabumi yang beberapa tahun belakangan masih merupakan misteri kini telah dapat dijabarkan dengan lebih baik. Hampir setiap hari di jurnal-jurnal utama gempabumi dapat ditemui penemuan yang tidak terduga sebelumnya. Efek dari pergeseran tanah akibat gempabumi yang mungkin terjadi pada suatu bidang sesar, saat ini telah dapat diprediksi dengan sangat teliti, sehingga memungkinkan para insinyur untuk membangun bangunan dengan ketahanan yang diperlukan. Begitu pula dengan prediksi gempabumi dalam jangka yang panjang telah membantu perencana kota, untuk menghidari pembangunan pada wilayah yang rawan bencana gempabumi, serta studi mitigasi gempabumi.
Saat ini beberapa negara maju termasuk Jepang tengah mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bahaya gempabumi. Sistem ini berdasarkan pada kemampuan untuk mengestimasi dengan sangat cepat dan akurat posisi gempabumi dan kekuatan gempabumi berdasarkan kedatangan gelombang awal gempabumi (gelombang P). Gelombang P merupakan gelombang yang tercepat tetapi memiliki efek merusak yang rendah. Kemampuan mendeteksi cepat gelombang ini memberikan waktu beberapa detik bagi instalasi energi nuklir untuk mematikan reaktornya, menghentikan laju kereta cepat, memberikan peringatan pada warga untuk berlindung beberapa saaat sebelum gelombang yang lebih merusak datang. Perlunya cetak biru riset gempabumi Terjadinya rentetan gempabumi besar di Sumatra dan Jawa, mengingatkan kita untuk sesegera mungkin membuat cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia. Belajar dari pengalaman Jepang dan Amerika yang telah memulai riset gempa bumi ratusan tahun lalu, cetak biru yang penelitian gempabumi di Indonesia harus berproyeksi pada prediksi jangka panjang dari gempabumi. Juga pendidikan pada masyarakat untuk memahami potensi gempabumi di wilayahnya, serta upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan yang mungkin ada bila gempabumi terjadi. Sehingga tidak ada lagi kepanikan akan isu-isu prediksi gempabumi. Cetak biru tersebut, harus terukur, realistis dan melibatkan instansi penelitian terkait serta perguruan tinggi. Beberapa prioritas penting dalam cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia yaitu:
1. Menyiapkan peta bahaya gempabumi yang terintegrasi. Didalam peta tersebut mencakup hasil terbaru dari pemetaan sesar aktif, studi probabilitas terjadinya gempabumi berdesarkan data pergerakan tanah, prediksi dari besarnya pergerakan tanah akibat gempabumi berkaitan dengan kekuatan struktur bangunan, dan penataan wilayah.
2.Meningkatkan kemampuan pengamatan gempabumi pada wilayah- wilayah tertentu, dengan menambah jumlah stasiun seismik serta station GPS.
3.Menyiapkan sistem informasi gempabumi dan peringatan dini terhadap tsunami. Sistem ini harus memberikaninformasi seketika pada masyarakat bila terjadi gempabumi, serta perhitungan pemodelan waktu dan tinggi tsunami.
4. Mempromosikan pendidikan gempabumi pada masyakarat, baik melalui kurikulum pendidikan, selebaran informasi dalam bentuk buku, poster, komik ataupun iklan layanan masyarakat.
Jalan panjang riset prediksi gempabumi Pada awal tahun 1970, usaha untuk memprediksi gempabumi berkembang dengan pesat di Jepang, Rusia, Cina dan Amerika. Target utama dari penelitian prediksi gempabumi yaitu untuk menentukan dengan teliti, kapan, dimana dan seberapa besar gempabumi akan terjadi. Para peneliti berharap untuk memberikan informasi ramalan terjadi gempabumi seperti meramal kondisi cuaca. Jepang telah memulai penelitian prediksi gempabumi sejak tahun 1892, satu tahun sesudah gempabumi Nobi menghancurkan Jepang Tengah. Saat itu dibentuk oleh kerajaan sebuah komite investigasi gempabumi yang bertugasmengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan prediksi gempabumi seperti: kenaikan suhu dibawah tanah, kemiringan tanah, variasi kemagnetan, perilaku binatang dan sebagainya.
Program yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan menghabiskan dana lebih dari 1.4 milyar dolar Amerika pada tahun 1999, berakhir dengan kekecewaan karena tidak ada satupun gempabumi yang berhasil diprediksi di Jepang pada rentang tersebut. Terutama sesudah gempabumi besar Kobe yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa, serta menghancurkan wilayah Hanshin dan Awaji. Para peneliti gempabumi mendapatkan kritikan yang tajam atas ketidakmampuan mereka dalam memberikan peringatan dini. Bahkan 112 tahun sesudah program prediksi gempa dicanangkan di Jepang, dengan lebih dari 1200 alat GPS (Global Positioning System) serta ribuan sensor seismik, para peneliti Jepang tetap gagal untuk menemukan secuil bukti yang bisa dijadikan dasar untuk memprediksi gempa di daerah Tokachi-Hokkaido magnitud 8 pada 26 Desember 2003. Mengapa gempabumi sulit untuk diprediksi? Bumi yang kita tinggali ini terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan yang paling dalam yaitu bagian inti yang sangat padat. Kemudian lapisan inti dilapisi oleh mantel yg lebih ringan, dan bagian luarnya dilapisi lagi oleh lapisan kerak bumi yang kaku. Sedangkan mantel walaupun keras tapi tidak kaku dan masih bisa dibengkokan bersifat visco-elastis. Karena panas mantel bergerak bersirkulasi dan membentuk arus konveksi. Pelan tapi pasti, mantel panas ini menggerakan juga
lapisan diatasnya. Yaitu lapisan kerak atau lempeng dengan jumlah lusinan yang membentuk muka luar dari bumi kita. Skala waktu dari proses arus konveksi di dalam mantel yaitu 100 juta tahun (10 pangkat 8). Padahal instrumentasi seismik baru dimulai sekitar 150 tahun lalu, dan lebih intensifnya kira-kira 30 tahun lalu. Sehingga kekurangan data untuk menjelaskan seluruh proses dalam siklus gempabumi yaitu dalam orde jutaan tahun. Pengetahuan manusia mengenai gempabumi baru seujung kuku saja. Sebagai perbandingan dalam ramalan cuaca, apabila kita mempunyai 150 tahun data pengamatan taifun, maka paling tidak kita akan punya informasi 150 siklus dari taifun. Sehingga memungkinkan kita untuk memprediksi kedatangan taifun pada tahun mendatang. Berbeda dengan gempabumi yang siklusnya hanya didapatkan dari satu atau dua kejadian saja. Para ilmuman gempabumi di seluruh dunia, masih berdebat apakah waktu, tempat dan magnitud gempabumi dapat diprediski dengan teliti. Beberapa topik perdebatan misalnya elektronik signal (EM) sebelum gempa, konsep dari selforganized critically (SOC), awan yang muncul saat gempa, evaluasi statistik dan lain sebagainya. Keberhasilan Cina pada tahun 1975 yang mengevakuasi 120 ribu warganya dua hari sebelum gempabumi dengan magnitud 7.3 menghantam Haicheng, dianggap sebagai kebetulan saja. Karena gempabumi di Haicheng diawali oleh gempa-gempa kecil. Padahal jarang sekali gempabumi besar diawali oleh gempa kecil (foreshock). Satu tahun kemudian gempabumi dengan magnitud 7.8 mengakibatkan 250 ribu korban jiwa di kota Tangshan, tanpa diawali gempa kecil dan fenomena awal lainnya. Dan sesudah itu tidak pernah ada evakuasi warga di belahan dunia manapun beberapa saat sebelum
gempabumi Apakah riset gempabumi hanya jalan di tempat? Penelitian gempabumi dalam beberapa tahun belakangan ini telah menghasilkan penemuan yang signifikan. Mekanisme dan proses terjadinya gempabumi yang beberapa tahun belakangan masih merupakan misteri kini telah dapat dijabarkan dengan lebih baik. Hampir setiap hari di jurnal-jurnal utama gempabumi dapat ditemui penemuan yang tidak terduga sebelumnya. Efek dari pergeseran tanah akibat gempabumi yang mungkin terjadi pada suatu bidang sesar, saat ini telah dapat diprediksi dengan sangat teliti, sehingga memungkinkan para insinyur untuk membangun bangunan dengan ketahanan yang diperlukan. Begitu pula dengan prediksi gempabumi dalam jangka yang panjang telah membantu perencana kota, untuk menghidari pembangunan pada wilayah yang rawan bencana gempabumi, serta studi mitigasi gempabumi.
Saat ini beberapa negara maju termasuk Jepang tengah mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bahaya gempabumi. Sistem ini berdasarkan pada kemampuan untuk mengestimasi dengan sangat cepat dan akurat posisi gempabumi dan kekuatan gempabumi berdasarkan kedatangan gelombang awal gempabumi (gelombang P). Gelombang P merupakan gelombang yang tercepat tetapi memiliki efek merusak yang rendah. Kemampuan mendeteksi cepat gelombang ini memberikan waktu beberapa detik bagi instalasi energi nuklir untuk mematikan reaktornya, menghentikan laju kereta cepat, memberikan peringatan pada warga untuk berlindung beberapa saaat sebelum gelombang yang lebih merusak datang. Perlunya cetak biru riset gempabumi Terjadinya rentetan gempabumi besar di Sumatra dan Jawa, mengingatkan kita untuk sesegera mungkin membuat cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia. Belajar dari pengalaman Jepang dan Amerika yang telah memulai riset gempa bumi ratusan tahun lalu, cetak biru yang penelitian gempabumi di Indonesia harus berproyeksi pada prediksi jangka panjang dari gempabumi. Juga pendidikan pada masyarakat untuk memahami potensi gempabumi di wilayahnya, serta upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan yang mungkin ada bila gempabumi terjadi. Sehingga tidak ada lagi kepanikan akan isu-isu prediksi gempabumi. Cetak biru tersebut, harus terukur, realistis dan melibatkan instansi penelitian terkait serta perguruan tinggi. Beberapa prioritas penting dalam cetak biru penelitian gempabumi di Indonesia yaitu:
1. Menyiapkan peta bahaya gempabumi yang terintegrasi. Didalam peta tersebut mencakup hasil terbaru dari pemetaan sesar aktif, studi probabilitas terjadinya gempabumi berdesarkan data pergerakan tanah, prediksi dari besarnya pergerakan tanah akibat gempabumi berkaitan dengan kekuatan struktur bangunan, dan penataan wilayah.
2.Meningkatkan kemampuan pengamatan gempabumi pada wilayah- wilayah tertentu, dengan menambah jumlah stasiun seismik serta station GPS.
3.Menyiapkan sistem informasi gempabumi dan peringatan dini terhadap tsunami. Sistem ini harus memberikaninformasi seketika pada masyarakat bila terjadi gempabumi, serta perhitungan pemodelan waktu dan tinggi tsunami.
4. Mempromosikan pendidikan gempabumi pada masyakarat, baik melalui kurikulum pendidikan, selebaran informasi dalam bentuk buku, poster, komik ataupun iklan layanan masyarakat.
1 komentar:
ini info yang lebih masuk akal, tidak kaya peramal peramal yang tidak jelas bahkan cenderung menakut nakuti.
Posting Komentar